Tuesday, July 13, 2010

Ceritanya Belajar Nulis biografi...





















Nama saya Lilis Wiarsih, terlahir 30 tahun yang lalu pada hari Sabtu siang waktu tepatnya kurang tahu, tanggal 7 Mei 1980. Saya terlahir
dari keluarga yang sederhana di sebuah kota yang bernama Cianjur Jawa Barat.
Hasil pernikahan seorang mama bernama Kartini dengan seorang ayah bernama Jajat Sudrajat. Saya memiliki darah sunda karena kedua orang tua berasal dari daerah sunda yaitu Tasikmalaya (makanya nama dan wajah saya asli sunda sekali). Filosofi nama saya menurut orang tua adalah lilis dalam bahasa sunda berarti geulis jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti cantik.Dengan nama itu kedua orang tua berharap saya menjadi seorang yang “cantik” baik secara fisik maupun hati yakni memiliki kepribadian yang “cantik”.Sedangkan wiarsih adalah nama yang sedang trend (jadul alias jaman dulu) di daerah sunda di jaman itu.

Penampilan fisik saya secara umum adalah sedang dalam artian tidak tinggi dan tidak pendek untuk ukuran wanita (tinggi badan sekitar 156 cm), dengan berat badan 58 kg. Setelah melewati masa-masa melahirkan memang berat badan saya sangat tidak ideal dan sedang berusaha untuk mengidealkan kembali walaupun dengan perjuangan yang agak berat(jadi curhat). Berkulit sawo matang, wajah agak bulat, pipi agak cabi dan hidung tidak terlalu mancung( pesek banget juga ngga), alhamdulillah bergigi rapi meski agak kurang putih tapi dari kecil gigi saya termasuk yang sehat dan kuat terbukti dari tidak pernahnya mengalami gangguan sakit gigi. Ciri khas saya dapat terlihat dari tahi lalat hitam berukuran agak besar yang bertengger di sebelah kiri atas dagu /mulut. Mata saya agak sipit, makanya tidak heran ketika mahasiswa dulu di kosan sering dipanggil liliang tow tow karena agak mirip-mirip Cina sedikit kalau dibuka jilbab. Rambut saya lurus hitam, tebal, kalau dulu waktu SMP karena sering perawatan dengan ramuan tradisional sering dibilang temen-temen mirip rambut Sun Silk. Meskipun julukan itu sungguh tidak mewakili jika diberlakukan untuk saat ini( ngaku aja ya, lurusnya sih tetep,cuma kalau hitam dan tebal sudah tidak lagi). O iya , Alhamdulillah sejak kelas 2 SMP saya sudah berjilbab sampai sekarang. Awal dulu memutuskan untuk berjilbab karena terinspirasi oleh sepupu perempuan saya, teh Ating. Ceritanya beliau itu idola saya banget. Selain pintar, aktif dan sebagainya, sehingga apa pun yang beliau pakai, beliau kerjakan selalu saya tiru.Terimakasih kepada teh Ating melalui perantaranya hidayah Allah datang pada saya. Sampai akhirnya saya merasa nyaman dengan jilbab dan akhirnya memahami sepenuhnya tentang kewajiban berjilbab bagi seorang muslimah.

Mama saya bernama Kartini, pokoknya gampang untuk mengingat karena mirip dengan salah satu pahlawan wanita kita. Pekerjaan mama adalah ibu rumah tangga biasa yang sehari-harinya mencurahkan perhatian untuk kepentingan suami dan anak-anaknya. Mama menikah dengan ayah di usia muda, katanya 13 tahun, saat pertama haid di usia itu. Dan berbeda usia sepuluh tahun dengan ayah saat itu. Mama saya berperawakan tinggi putih, pokoknya reflika saya banget deh (tapi saya ga putih), malah kalau sekarang jalan bareng sering dibilang adik kakak, mungkin karena mama menikah muda jadi perbedaan usia tidak begitu kentara (atau memang muka saya yang keliatan tua, he2,,,). Mama saya seorang yang lembut, meski kadang agak sedikit cerewet kalau sedang lelah (sekarang sih memahami dan merasakan ketika sudah menjadi ibu). Satu kebiasaan yang sering dilakukannya sampai sekarang yang menginspirasi saya adalah sholat malam. Kebiasaan sholat malamnya menular kepada saya sejak kelas 2 SMP. Sejak saat itu, setiap saya akan mengahadapi ulangan pasti saya akan melakukan sholat malam, yang biasanya dilanjutkan dengan belajar hafalan, karena terasa sekali waktu sebelum subuh memang waktu yang kondusif untuk belajar yang akhirnya menjadi penetapan waktu terbaik saya untuk belajar sampai kuliah. Mama mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar, kata mama sih dengan menyesal mama mengisahkan bahwa beliau tidak melanjutkan sekolah bukan karena kurang biaya namun karena kurangnya kemauan, maklum di jaman itu anak yang berpendidikan sampai ke jenjang atas amat sangat bisa dihitung bahkan mungkin tidak ada daerah mama saat itu. Pada zaman itu anak perempuan tidak usah sekolah tinggi, yang penting bisa di dapur, nyambel dan sebagainya. Jadi dengan penyesalan itu menjadikan beliau bertekad untuk menyekolahkan anaknya minimal sampai sarjana.

Ayah saya bernama Jajat Sudrajat, pekerjaan ayah adalah wirausaha membanting tulang menghidupi keluarga. Perawakan ayah bisa dibilang pendek untuk ukuran lelaki kalau sama mama tingginya hampir sama, tapi kalau mama pakai selop tinggi, kalah deh tingginya,mungkin itu salah satu alasan mama tidak pernah mau pakai selop tinggi selain karena pegel (maaf, tidak penting ya?), kulit sawo matang dan berambut lurus. Ayah saya seorang fighter karena dari usia 2 tahun beliau sudah ditinggal kedua orang tuanya. Beliau dan dan keenam saudaranya diurus oleh bibinya (adik dari ibunya) yang sering diperlakukan seperti anak tiri. Untuk keperluan sekolah saja ayah dan keenam saudaranya harus berjuang mencari uang sendiri padahal saat itu kedua orangtuanya meninggalkan mereka dengan keadaan yang berkecukupan. Namun semua harta peninggalan dikuasai oleh bibinya tersebut. Jadilah mereka bertujuh hidup seadanya. Bagaimana melanjutkan sekolah,untuk makan saja pun mereka susah. Seperti cerita sinetron di televisi yang judulnya ibu tiri. Kejam memang terdengarnya. Tapi Alhamdulillah atas karunia Allah SWT, kehidupan ayah dari mulai berumah tangga sampai sekarang berangsur-angsur membaik. Dan kisah hidup ayah inilah yang selalu menginspirasi saya untuk bersungguh sungguh menjalani setiap fase kehidupan. Dan ayah lah yang mendukung saya untuk terus melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi dan mengaharuskan saya untuk bekerja dan berpenghasilan sendiri.

Dalam keluarga, saya adalah dua bersaudara, adik saya laki-laki terpaut umur sepuluh tahun dengan saya. Waktu itu sempet dibilang anak tunggal tapi tidak jadi. Saking inginnya anak laki-laki, waktu itu mama dan ayah sempet akan mengadopsi anak. Tapi alhamdulillah Allah memberikan rezeki dengan lahirnya adik laki-laki yang diberi nama Toto Winarto. Untuk filosofi nama saya kurang tahu yang pasti jawa banget. Karena perbedaan usia yang sangat jauh, dan kebersamaan kami yang jarang (karena sejak SMA sampai kuliah saya ngekos di luar daerah) maka hubungan kami tidak begitu dekat. Tapi Alhamdulilah baik-baik saja, dan adik saya termasuk yang paling penurut terhadap saya dibandingkan kepada orang tua. Adik saya sekarang sudah 20 tahun, beliau memilih tidak kuliah tetapi berwira usaha bersama dengan ayah.

Masa kecil saya bisa dibilang menyenangkan meski agak-agak sedikit terbebani. Merasa terbebani karena ceritanya alhamdulillah dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 sekolah dasar, saya selalu mendapatkan peringkat pertama, saat itu bagi saya dan keluarga khususnya sepupu-sepupu, peringkat setelah peringkat satu itu adalah “aib”. Jadilah seperti bawa beban segede gunung, untuk mempertahankan mati-matian yang namanya peringkat satu. Untuk kedua orang tua sih, mereka mengaku senang karena dengan sendirinya tidak usah susah payah menyuruh anaknya belajar, karena sejak kelas satu saya sudah terbiasa belajar dan mengerjakan PR sendiri (sebenarnya sih alasannya bukan karena kesadaran tapi karena ketakutan tersaingi ).Dan satu lagi yang jadi beban adalah karena seumur-umur di SD pasti jadi ketua kelas harus ngatur temen-temen sekelasnya yang super-super bandel. Untungnya semua itu tidak serta merta menghilangkan masa-masa indah bermain dengan teman-teman kecil. Hobby saya dan teman-teman adalah bermain masak-masakan, sampai bunga-bunga kesayangan mama yang ada di depan rumah sering gundul gara-gara dipetik, diiris-iris dijadikan masakan warna warni. Hobby ini mungkin menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi saya masuk jurusan kimia, hobi ngeracik-racik daun dsb. Permainan lain adalah bongkar pasang, boneka-bonekaan, rumah-rumahan, putri-putrian, permainan karet dan sebagainya. Dan satu lagi hobby saya yang masih inget sampai sekarang adalah berenang di empang yang kata mama butek dan kotor (kalau kata kami sih enjoy-enjoy saja), walaupun dengan gaya berenang bisa dilakukan adalah gaya batu dan gaya tenggelam(dan sampai sekarang pun tuh gaya berenang yang benar belum bisa juga). Untuk hobby yang satu ini, sangat perlu perjuangan, harus curi-curi jangan sampai ketahuan mama, karena sebenarnya dilarang keras berenang di empang dengan alasan air butek dan kotor yang tidak bagus untuk kesehatan juga bikin ikan di empang mabok karena diubek-ubek oleh anak-anak. Tapi justru yang dilarang itu yang menyenangkan dan berkesan bukan…(maksudnya?)

Waktu kecil saya tidak pernah kenal TK,karena Saya langsung masuk SD, SDN Jati 1 yang berjarak lumayan jauh dari rumah bisa menempuh setengah jam dengan jalan kaki. Di sekolah, saya termasuk murid kesayangan guru terutama yang menjadi wali kelas. Saya tergolong anak yang penurut, sangat senang bila disuruh ini itu oleh guru, seperti kebanggaan tersendiri di masa itu. Kata guru sih saya termasuk murid dengan multitalenta (he2…padahal sih engga banget…), karena menurut mereka selain saya juara di kelas, saya juga sering ikut perlombaan mengarang, menggambar, lomba minat baca, olah raga vollly dan bulutangkis sampai tingkat kabupaten, tetapi hanya nyanyi saja yang membuat saya mati gaya, itu mah sudah bakat dari alam tidak bisa dirubah tetep aja suara pales, paling banter ikut vocal group kalau solo mah dijamin selalu tidak lolos audisi. Nah kebiasaan saya yang buruk hingga sekarang itu adalah pendiam (tapi kalau kata suami sih sudah bawel, apalagi kalau sedang menghadapi si kecil yang lagi rewel,…maksudnya?) ,tidak berani mengeluarkan ide atau pendapat alias kurang PD an dan gampang panik

Dengan modal lulus SMP dengan NEM peringkat kedua tertinggi sekabupaten, sepupu di Tasik, berhasil “mengompori” saya untuk masuk SMA terfavorit di sana. Jadilah saya mengembara sekolah di SMA 2 Tasikmalaya dengan modal nekad pisah dengan ortu dan numpang di rumah saudara. Babak baru pun dimulai, betapa sulit saya beradaptasi dengan lingkungan yang serba baru,di daerah baru dengan keadaan yang harus serba mandiri. Alhasil di semester pertama rapot saya jeblok, tidak ada peringkatnya! Bagi saya itu adalah tamparan yang luar biasa dan aib tiada tara, sejak itu setiap waktu saya tak pernah lepas dari buku, belajar dan belajar setiap waktu. boleh dibilang saya kehilangan “masa muda” dengan menghabiskannya untuk belajar dan belajar. Alhamdulillah kegigihan itu berbuah, di semester 2 saya berhasil merebut mahkota peringkat pertama (apa coba..), sampai wali kelas saya saat itu heran, jangan2 nih anak ada apa2nya bisa loncat tinggi. Dan pertanyaan tsb menjadi “warning”bagi saya untuk tetap mempertahankan peringkat pertama di semester-semester berikutnya. Hanya saja setelah masuk kelas 3 IPA, saya masuk kelas unggulan dan perlahan bintang pun cahanya meredup(apa coba….), di kelas 3 hanya dapat peringkat 5, tapi alhamdulillah yang penting bisa masuk ITB (singkat cerita aja ya, sudah kepanjangan, tidak dibahas lagi cerita berdarah-darah kenapa masuk ITB).

Tahun 1999, di ITB inilah sejarah bermula…terjebak dan terperangkap dalam indahnya hidayah (he2,bukan terjebak kali)…di sinilah berkenalan dengan yang namanya mentoring, Liqo, ikhwan dan akhwat. Merasakan nikmatnya qiyamul lail, damainya bertilawah, ikhlasnya berpuasa sunah, terbiasanya almatsurat dan dhuha, serta kebiasaan–kebiasaan baik lainnya. Benar benar merasakan bahwa hidup itu merasa bermakna.

Bertemu dengan orang-orang luar biasa, yang lisannya tak pernah berkata sia-sia, yang setiap waktunya berguna, yang pancaran wajahnya menyiratkan keikhlasan yang mengiringi segudang aktifitasnya, mereka yang beraktifitas tidak hanya kuliah saja tetapi dakwah yang mulia. Terkadang saya pernah merasa heran, apa mereka tidak pernah merasa lelah? sungguh setiap perbuatan mereka sudah cukup membuat saya terpana dan tergoda untuk mengikutinya. Dan jawaban atas LELAH mereka akhirnya telah saya temukan dengan sendirinya, bahwa dakwah ternyata menghadirkan KETAGIHAN tersendiri bagi para pelakunya, meski banyak masalah yang menguji setiap ikhlasnya niat dan kuatnya usaha, tetapi ada banyak “hiburan’ di sana , sungguh setiap kelelahan Allah gantikan dengan kenikmatan yang tak terkira (jujur deh,,,pasti sering ngerasa juga kan).

Empat tahun saya menjalani pendidikan di ITB, tenggelam dalam ketatnya mata perkuliahan, jadwal praktikum yang padat dan laporan praktikum yang amat super rese meresekan. Bayangkan saja, setiap minggu harus membuat 3 laporan praktikum dengan ketik secara manual (pake mesin ketik zaman dulu). Asli!! Dalam seminggu itu bisa tiga hari bergadang, belum lagi jika masa UTS dan UAS menjelang, dijamin bergadang dan bergadang. Selain itu amanah di keputrian rohis GAMAIS setiap program rutinnya menuntut untuk dilaksanakan, pernah di detik-detik menghadapi UAS, di saat yang lain berkutat dengan diktat perkuliahan, saya masih bersibuk ria telpon sana sini dengan urusan pembicara untuk kajian rutin keputrian. Benar-benar merasakan setiap detik waktu adalah hal yang sangat berharga. Alhamdulillah justru dengan keadaan yang demikian menjadikan saya semakin merasa bertambah dekat dengan-Nya. Di kampus ini sepertinya bintang bukan hanya cahayanya meredup bahkan mungkin sudah menghilang. Ah sudahlah, yang penting saya telah menemukan makna yang amat dalam dari sekedar perkuliahan dan IPK yang menjulang. Akhirnya dengan segala kemudahan yang Allah berikan, pada Oktober 2003 saya lulus dengan predikat cukup memuaskan.

Pasca keluar dari kampus tidak serta merta saya mendapat pekerjaan. Walaupun demikian, saat itu saya bertekad untuk menghentikan permintaan dana kepada orang tua, dengan alasan malu,cukup tidak cukup saya harus mencari nafkah sendiri. Jadi putar otaklah saya mencari sambilan untuk memenuhi kebutuhan harian secara mandiri. Sambil menunggu hasil wawancara dari lamaran-lamaran pekerjaan yang saya kirim. Saya pun mulai merambah dunia les Privat dari rumah ke rumah. Alhamdulillah hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup tanpa minta bantuan orang tua lagi. Dan saya pun mulai menikmati dunia mengajar. Sementara itu test demi test, wawancara demi wawancara yang saya lakukan dari kota satu ke kota yang lain, tidak juga menemukan sesuatu yang ideal. Ada tawaran yang menggiurkan, bekerja sebagai supervisor di pabrik, ah sepertinya repot untuk urusan ke depan, terlebih ketika sudah berumah tangga dan mempunyai anak, beban kerja yang berat di pabrik akan sangat menyita perhatian, waktu dan tenaga, saya khawatir tidak bisa tawazun terhadap suami dan anak-anak saya kelak. Akhirnya saya banting setir ke dunia pendidikan, karena tanpa sadar saya sebenarnya telah jatuh cinta kepadanya. Dan tantangan pertama pun saya jalani, saya diterima menjadi staff pengajar di sebuah SDIT ternama di Bogor.

Bogor, kota ketiga pengembaraan saya setelah Tasik dan Bandung tentunya. Saya mulai kerasan di sana dengan cuaca sejuknya yang bersahabat, menjalani hari demi hari dengan panggilan baru bernama bu guru.

Sebenarnya dunia guru sendiri adalah dunia yang baru bagi saya, karena latar belakang kuliah saya adalah bukan pendidikan (keguruan), tapi alhamdulillah di SDIT ini saya banyak menerima training-training yang bersifat keguruan karena memang sebagian besar guru yang terekrut di SDIT ini notabennya bukan berijazah pendidikan (keguruan) sehingga mereka meng up grade SDM nya dengan gencar melakukan training. Dan menjadi guru itu memang menyenangkan. Meskipun banyak kelelahan ketika berhadapan dengan murid yang sedang bandel-bandelnya, tetapi Ada rasa bahagia yang tidak akan terganti ketika murid-murid itu mengerti apa yang kita ajari, dan mendapat nilai yang tinggi.

Bogor. Kota yang mejadi saksi pertemuan saya dan dirinya (prikitiw….). Hanya dalam satu bulan saja, Allah memudahkan semuanya. Bermula dari tukar biodata lewat murobbi dan murobbiyah, berlanjut dengan taaruf di mesjid Al-Gifari IPB, taaruf keluarga dan khitbah di Cianjur, akhirnya 12 Februari 2006 resmi sudah saya menjadi istrinya. Sejak Pernikahan inilah akhirnya saya beranjak meninggalkan Bogor, murid-murid dan teman-teman tercinta diboyong ke Jakarta, tempat asal suami bermula.

Jakarta, kota yang semula sangat saya hindari. Ternyata Allah takdirkan saya berada di dalamnya. Jakarta oh Jakarta, sungguh berbeda dengan Bogor, Bandung,Tasik; kota-kota yang sangat bersahabat dengan cuacanya. Di Jakarta begitu panas, macet dan segala hiruk pikuknya, membutuhkan kerja keras saya agar bisa bersahabat dengannya.

Iya, perkenalkan suami saya Arthur Singgih namanya. Dialah pujaan hati saya insyaAllah untuk sekarang dan selamanya (swit ,,,wiw…). Sebuah nama yang unik yang mampu menggetarkan hati saya kala ta’aruf pertama (ciye2…). Seseorang yang Allah pertemukan dengan saya dari arah yang tidak pernah disangka. Dari biodata nya dulu, baru saya tahu beliau lahir 6 April 1979 yang lalu. Dari ibu yang bernama Juwirah dan ayah yang bernama Arief Syatibi. Beliau anak kelima dari enam bersaudara. Keturunan sunda dan jawa yang lahir di Jakarta.

Meskipun keturunan sunda-jawa, jangan berharap bisa berbicara sunda atau jawa kepadanya, asli tidak bisa. Begitu pun dengan penampilan fisiknya, jika bertemu dengannya orang menyangka seperti turunan Pakistan, atau India, padang atau sejenisnya. Dengan hidung mancung, mata sayu, alis tebal bentuk wajah sedikit oval, berkulit sawomatang, pokoknya ganteng lah! (kalau kata saya Saruk Khan bintang film India itu mah lewat deh,he2…). Suami saya bekerja sebagai karyawan swasta yang insyaAllah sedang merintis cita-cita menjadi pengusaha. Beliau ini seorang yang humoris sehingga bisa mengimbangi saya yang segala sesuatu sering dianggap serius. Prinsip hidupnya mengalir seperti air, berbeda dengan saya yang pada awalnya harus selalu sesuai target tapi sekarang sih berusaha mengalir juga karena ternyata sering merasa lelah dikejar target. Satu hal yang saya kagumi darinya adalah rasa empatinya yang dalam baik terhadap istri, anak, orang tua dan orang-orang di sekelilingnya. Beliau sering memposisikan dirinya sebagai orang lain, berusaha menyelami perasaan orang lain apalagi jika orang lain tersebut sedang berada dalam masalah sehingga menjelmalah dia menjadi sosok yang penuh pengertian terutama kepada istri, anak dan orang tuanya.

O iya, alhamdulillah sejak satu bulan menikah Allah telah mengamanahkan seorang anak di rahim saya. Sembilan bulan kehamilan pertama dilalui dengan penuh perjuangan. Mulai dari Mabok yang parah di trimester pertama. Rasa gerah, begah, pegal dan sejenisnya yang silih berganti mengahampiri sebagai efek samping dari meningkatnya beban berat calon si buah hati . Akhirnya atas izin allah SWT , 30 Desember 2006 , di Rumah sakit Sumber Waras , Sabtu jam 01.10 lahirlah putri pertama kami. Terciptalah sebuah nama untuknya Ayesha Azra Arafah. Ayesha adalah sebuah nama yang terinspirasi oleh kisah novel seoarang mujahidah palestina yang wafat dengan bom syahidnya. Azra artinya seorang yang ramah dan lemah lembut. Sedangkan Arafah sendiri diambil dari momentum kelahirannya yang bertepatan dengan 10 zulhizah atau hari arafah. Sekarang genap 3,5 tahun umurnya. Banyak orang berkata penampilan fisiknya mirip dengan ayahnya. Yang paling istimewa darinya adalah berat badannya, untuk anak seusianya dia termasuk anak yang bergizi lebih (berat 23 kg, tinggi 107 cm). Memang wajar, makannya saja hampir 2x porsi saya, belum lagi susunya yang kuat dan ngemil yang berat-berat. Uminya jadi bingung bagaimana membuat kurus buah hatinya, karena anak sekecil itu tidak mungkin untuk melakukan diet (susah nahan lapar, haus, dan ngemil) Satu yang unik darinya yang lain dari anak kebanyakan. Ketika makan sangat susah dihentikan, berkebalikan dengan anak lain yang selalu bersegera menghentikan makannya. Sifatnya yang menonjol yang tak lain warisan uminya adalah sensitif dalam artian mudah tersentuh dan mudah tersinggung. Di usianya yang sekarang Azra termasuk masih kolokan, belum bisa main sendiri masih bergantung kepada umi dan ayah, jadi memang agak-agak repot untuk urusan yang satu ini lumayan menghambat jika umi ayahnya sibuk.

InsyaAllah sekian dulu profil singkat saya, sebenarnya sudah kepanjangan ,semoga dengan ini bisa sedikit lebih mengenal siapa saya.

No comments:

Post a Comment